Rabu, 12 September 2012 - 2 komentar

HATI ADALAH RAJA BAGI DIRI MANUSIA

Jika kita melucuti struktur lahiriyyah seorang insan, maka akan menemukan bahwa esensi manusia itu terdiri dari dua unsure dasar yang membangun jati diri manusia yaitu akal dan kalbu atau hati. Sedangkan bentuk badan yang tampak oleh pandangan mata ini bukanlah sesuatu yang penting hingga bisa menimbulkan perbedaan antara seorang manusia dan seekor binatang. Semua hewan itu juga memiliki bentuk lahir yang tidak jauh berbeda dengan manusia, manusia hanya akan menyandang nilai lebih dari hewan jika mempunyai hati dan akal.
كيف يشرق قلب صور الأكوان منطبعة في مرآته، أم كيف يرحل إلى الله وهو مكبَّل بشهواته، أم كيف يطمع أن يدخل حضرة الله وهو لم يتطهر من جنابة غفلاته، أم كيف يرجو أن يفهم دقائق الأسرار وهو لم يتب من هفواته

"Bagaimana mungkin hati seseorang bisa berbinar sedang gambar makhluk masih memenuhi cermin hatinya, dan atau bagaimana mungkin ia bisa berlari menuju Allah sedang ia masih dibelenggu oleh kesenangan-kesenangan nafsunya, dan bagaimana mungkin ia bisa masuk kehadapan Allah sedang ia belum bersuci dari najis kelalaiannya, dan bagaimana mungkin ia mengharap bisa memamahi lembutnya rahasia-rahasia yang tersimpan sedang ia belum bertaubat dari dosa-dosanya"
Hikmah ini masih berhubungan erat dengan dua hikmah sebelumnya, kita akan mengerti permasalahan ini dengan jelas jika bisa memahami semuanya kemudian mengaitkan satu persatu layaknya mata rantai yang saling melengkapi satu dengan lainnya.
A. Inti manusia
Jika kita melucuti struktur lahiriyyah seorang insan, maka akan menemukan bahwa esensi manusia itu terdiri dari dua unsure dasar yang membangun jati diri manusia yaitu akal dan kalbu atau hati. Sedangkan bentuk badan yang tampak oleh pandangan mata ini bukanlah sesuatu yang penting hingga bisa menimbulkan perbedaan antara seorang manusia dan seekor binatang. Semua hewan itu juga memiliki bentuk lahir yang tidak jauh berbeda dengan manusia, manusia hanya akan menyandang nilai lebih dari hewan jika mempunyai hati dan akal.
Akal adalah bagian manusia yang berfungsi untuk mengetahui dan memahami segala sesuatu, sedangkan hati merupakan terminal tempat berkumpulnya perasaan dan emosi. Dengan akal dan hati yang berfungsi normal, manusia akan memiliki kemampuan untuk menciptakan kemakmuran dan peradaban yang luhur serta memperoleh pengetahuan dan penemuan-penemuan baru. Akal yang berjalan seiring dengan hati akan menjadikan seorang manusia mampu melakukan perbaikan luar biasa dan bahkan mungkin pula akan menimbulkan puncak kerusakan di muka bumi.
Dalam kesempatan ini kita tidak akan membahas tentang akal, karena topik yang sesuai dengan hikmah ini adalah mengenai hati atau kalbu. Kalbu yang berkaitan dengan pembicaraan kita bukanlah sebagaimana yang diistilahkan oleh para dokter dan ahli anatomi tubuh yang mengartikannnya sebagai sekumpulan otot yang berada dibalik rongga paru-paru sebelah kiri. Kalbu atau hati yang kita maksudkan adalah sebuah wadah yang menjadi kediaman perasaan dan emosi baik yang menjadi pendorong, penjegah ataupun perasaan menyanjung. Contoh perasaan pendorong adalah cinta dan hormat, perasaan pencegah kita bisa lihat dalam bentuk ketakutan dan kebencian. Sedangkan penyanjung akan kita temukan dalam bentuk kekaguman dan pengagungan.
Hati bisa diibaratkan seperti sebuah lembaran yang mampu merespon perasaan-perasaan yang sangat halus. Ketika pandangan kita melihat sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan impian yang mengisi pikiran, maka lembaran hati akan menuliskan perasaan yang bernama cinta.

Saat kedua mata ini menyaksikan perkara-perkara yang tidak cocok dengan kemauan kita, dengan segera lembaran hati akan memunculkan rasa benci jika ada orang lain yang mendahului kita dalam menggapai harta atau apa saja yang kita inginkan maka lembaran hati akan mencatat rasa hasud, iri atau dengki. Dan apabila kita berkumpul besama orang-orang yang tidak menghargai kita atau bahkan malah cenderung menyepelekan, lembaran hati akan merespon dengan perasaan marah seketika itu juga.

B. Sang pemimpin
Para ahli kejiwaan berpendapat bahwa dorongan seorang manusia untuk melakukan sebuah kegiatan itu berasal dari dalam hati sebanyak tujuh puluh persen, sedagkan sisanya sebanyak tiga puluh persen akan diperoleh dari akal pikiran.
Namun pendapat seperti ini masih perlu ditanyakan kebenarannya andai saja semua manusia itu hidup berdasarkan hukum akal, pasti mereka akan bersatu padu tanpa perbedaan sedikitpun untuk menciptakan ketentraman dan kesejahteraan dan bahkan bersama-sama dalam tundukan sepenuhnya kepada Allah Yang Maha Esa . hanya saja semenjak dahulu manusia itu lebih cenderung bertindak dengan menuruti perasaannya. Akal yang mereka miliki hanya berfungsi sebagai alat yang dikuasai oleh cinta, kebencian atau iri dan dengki. Perasaan yang keluar dari hati tersebut merupakan raja tunggal yang digdaya mengendalikan langkah-langkah hidupnya.
Banyak orang yang mengetahui kesalahan dan bahaya-bahaya yang muncul ketika akal telah tunduk kepada perasaan yang jahat. Mereka ingin mengatasi masalah ini dan berusaha menundukan perasaannya dengan kemampuan daya intelektual. Mereka menamakan usahanya dengan sebuatan tarbiyyah atau pendidikan. Dari waktu ke waktu sistem pendidikan semakin berkembang dan bermacam-macam ahli pendidik bermunculan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Akan tetapi semua usaha ini hanyalah menjadi media pengantar sedangkan yang berusaha mengendalikan tindak tanduk menusia adalah hati. Akal hanya berperan sebagai naluri penjelas sepereti sebuah lampu yang menyinari namun tidak mempunyai energy penggerak dan pendorong.

C. Cermin buta
Dalam hikmah ini, Ibnu Atho'ilah menyatakan bahwa hati itu seperti sebuah cermin. Dia akan memantulkan perasaan dan emosi yang dimilki oleh seorang manusia.
Bisa kita saksikan bahwa kaca cermin yang dihadapkan kepada dasar sumur yang gelap akan tampak berwarna hitam gelap. Dan bila permukaan cermin tersebut diarahkan kepada matahari yang bersinar terang, maka ia akan menjadi kilau percis seperti cahaya matahari. Kemudian cermin akan beralih warna kehijauan jika ia berada dihadapan hijaunya pepohonan dan aneka ragam tumbuhan. Ia akan menampakan gambar yang serupa dengan segala sesuatu yang terletak didepannya.
Apabila seorang manusia mengarahkan keinginan dan impiannya kepada kemewahan dan kemegahan dunia maka secara otomatis gambar dunia akan memenuhi permukaan cermin hatinya. Selanjutnya hati akan menyiapkan pasukan dan semua media yang memungkinkan untuk merealisasikan gambar-gambar yang telah terekam itu.
Dalam keadaan seperti ini, apakah mungkin wujud Allah subhanahu wata'ala akan tampak dihatinya ? sebuah wadah yang telah terisi penuh oleh impian-impian duniawi hingga memunculkan rasa iri kepada orang-orang yang menyaingi atau rasa benci kepada orang-orang yang mengungguli, apakah mungkin masih menyisakan ruang kosong bagi rasa cinta dan takut kepada Allah ? bisakah kegelapan itu berkumpul dengan sinar terang ? atau mungkinkah dua hal yang berlawanan akan bersatu dalam sebuah esensi ?
Ketika hati telah gelap karena hawa nafsu dan dosa-dosa yang timbul darinya, maka kegelapan tersebut akan berubah menjadi noda dan bintik yang menutupi semua permuakaannya.
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (14) [المطففين : 14]
Artinya : "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka." (Q.S. Al-muthafifin : 14)
Dalam keadaan seperti itu, seorang manusia akan merasakan apa yang disebut sebagai gangguan jiwa, ia masih percaya kepada akalnya dan juga mengetahui kebenaran-kebenaran yang sesuai logika semisal 1+1=2. Ketika ia menghadiri majelis pengajian, maka ia akan menerima dan tunduk kepada dalil dan argumen-argumen yang dipaparkan sebagai sesuatu yang hak. Akan tetapi setelah ia keluar dari majelis tersebut, dengan segera ia akan kembali dalam pasungan kemauan dan keinginan sahwatnya.
Hal itu terjadi karena akal memang selalu berada dibawah kepemimpinan perasaan, coba saja sekarang ini kita melihat orang-orang disekitar kita, mayoritas mereka pasti mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, namun berapakah jumlah orang-orang yang mau menerapkan hukum-hukum akal tersebut ?
Ketika seseorang yang berkribadian mendua bertanya. "sekarang ini aku mengakui kebenaran-kebenaran yang berasal dari Al-Qur'an, lalu mengapa aku tidak mampu memenuhi tuntutan dari hukum tersebut ?", maka jawabannya adalah apa yang dikatakan Ibnu Atho'illah, "Bagaimana mungkin hati akan bersinar sedangkan permukaannya telah penuh oleh lukisan gambar-gambar dunia ?". hatimu telah gelap karena noda-noda hitam yang menutupinya. Engkau telah terjerat oleh kekuasaan bintik-bintik tersebut. Tidak ada lagi ruang kosong dalam hatimu untuk menempatkan rasa cinta yang mendorong untuk memenuhi panggilan Allah subhanahu wata'ala atau rasa takut yang mencegahmu untuk melakukan maksiat dan kejahatan.
Saat akal pikiranmu meminta izin kepada hati yang telah penuh oleh noda-noda dosa dan sahwat untuk menyemaikan benih-benih cinta kepada Allah , maka akal akan mencari dan terus mencari lahan kosong pada permukaan hati namun ternyata ia sama sekali tidak menemukannya. Tidak hanya sampai disitu, sang akal kemudian berusaha memberitahukan kepada hati tentang risalah suci dari ilahi rabbi.
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (16) [الحديد/16]
Artinya : "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik." (Q.S. Al-hadidi : 16)
Lagi-lagi karena hati telah penuh sesak oleh muatan-muatan sahwat dan dunia, maka usaha akal untuk menyusupkan risalah tersebut kedalamnya menjadi sia-sia tanpa guna.
Sebuah contoh masyhur yang sering kita dengar adalah kisah Bal'am bin Ba'ura, salah seorang bani Israil. Allah subhanahu wata'ala telah menganugerahkan karunia ilmu yang melimpah kepadanya, sedangkan ilmu pengetahuan sebagaimana kita tahu adalah akal. Akan tetapi Bal'am lebih memilih untuk menuruti keinginan liarnya. Hati yang telah dipenuhi nafsu liar akhirnya memimpin dan mengendalikan akalnya untuk menggapai impian-impian dunawiyah. Perjalanan hidup Bal'am persis seperti seekor anjing yang selalu menjulurkan lidah kepada apa saja yang dia jumpai tanpa pernah merasa puas. Kisah Bal'am diabadikan oleh Allah subhanahu wata'ala sebagai nasihat bagi manusia dalam ayat berikut.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ (175) وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (176) [الأعراف/175-177]
Artinya : "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. (175).Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. "(176). (Q.S. Al-‘araf : 175-176)

D. Penjerat berantai
Inti pembahasan pada awal hikmah ini ialah tentang penyakit hati. Berawal dari keinginan-keinginan duniawi yang memenuhi permukaan hati hingga akhirnya menjadi noda hitam yang menimbulkan kegelapan. Andai saja gambar-gambar dunia yang terekam memenuhi hati itu seperti sifat tulisan atau gambaran yang ada pada lembaran kertas atau tembok, tentu akan sangat mudah untuk menghapusnya. Namun potret-potret dunia yang memenuhi cermin hati ini, sama sekali tidak mungkin hilang atau terpengaruh oleh sebab-sebab dan media material.
Solusi untuk mengobati penyakit tersebut bisa kita temukan pada poin yang kedua dari hikmah ini. "Atau apakah mungkin hati akan menghadap Allah subhanahu wata'ala padahal ia masih terbelenggu oleh sahwat-sahwatnya". Masalah utama yang menghalangi hati untuk menghadap kepada Allah adalah dikarenakan jeratan sahwat. Jadi usaha pertama yang harus dilakukan untuk menangani dilema penyakit hati ialah membebaskannya dari kekangan nafsu sahwat. Lalu bagaimana caranya?
Kita lihat dulu dari poin ketiga ini, "Bagaimana mungkin hati berharap agar bisa memasuki kerajaan Allah , sedangkan ia tidak mau bersuci dari kotoran-kotoran kelalaiannya?". Sahwat yang telah menguasai dan merajai hati akan menjadikannya lalai dari Allah ‘Azza wa Jalla. Kesenangan yang ditawarkan nafsu syahwat akan menjadikan seseorang tenggelam dalam perasaan gembira dan akan merasa sedih saat terpisah dari kemewah-mewahannya. Jadi, salah satu proses untuk menyembuhkan hati yang sakit adalah dengan pejuangan sekuat tenaga untuk membinasakan kelalaian yang menyelimutinya.
Satu-satunya jalan penyelamat ialah dengan cara meninggalkan jauh-jauh segala bentuk dosa dan kesesatan, sebagaimana tersirat dalam poin terakhir hikmah ini, "Bagaimana mungkin hati berharap untuk bisa memahami rahasia-rahasia Allah swt yang sangat rumit, sedangkan ia belum bertaubat dari kesesatan-kesesetannya?".
Kesesatan dan dosa adalah penyebab utama adanya kelalaian hati dari Allah swt. Lalu kelalaian akan menjadikan seseorang tunduk dan pasrah kepada nafsu syahwat yang menuliskan gambar-gambar dunia di atas permukaan hati hingga menjadi noda-noda hitam yang menutupinya.

E. Tuntutan sebenarnya
Manusia merupakan makhluq Allah yang tidak lepas dari kesalahan, apakah bisa ia terbebas dari dosa? Bukankah yang terbebas dari dosa itu hanya para Nabi, lalu apa yang harus dilakukan oleh manusia biasa?
Manusia tidaklah dituntut agar terbebas sama sekali dari dosa. Ia hanya diwajibkan untuk menjauhi maksiat dan dosa sekuat tenaga. Dan bila ia terlanjur melakukan kesalahan, maka ia harus bertaubat dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi. Jika ia tergoda lagi untuk berbuat dosa, maka ia harus bartaubat kembali dan jika masih terulang terus, ia harus mengulang-ulang taubat, dan seterusnya. Hal seperti inilah yang disebut dengan عِصمَة(terbebas dari dosa) bagi orang-orang awam seperti kita.
Ketika syaitan mengancam kepada Allah bahwa ia akan menyesatkan semua hamba-hamba-Nya, maka Allah ‘Azza wa Jalla kemudian menjawab, bahwasanya mereka juga memiliki kekuatan penolak maksiat dan kejahatan. Allah swt berfirman:
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ (42) [الحجر/42]
Artinya : "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat." (Q.S. Al-hajr : 42)
Maksudnya, syaitan tidak akan mampu menyesatkan orang-orang yang benar-benar meyakini sifat kehambaannya. Karena dengan bekal keyakinan itu, maka ia akan merasa menyesal setelah melakukan sebuah kejahatan. Kemudian rasa sesal di dadanya akan mendorong untuk bertaubat dengan tulus dan ikhlas. Dengan begitu, pengaruh maksiat akan hilang dan dosanya menjadi terhapus. Saat ia kembali berbuat dosa hingga berulang kali, maka proses diatas juga akan terus terulang, namun tetap berakhir dengan taubat yang tulus.
Setelah seseorang berhasil menyelamatkan diri dari dosa dan kesesatan melalui jalan pertaubatan yang suci lalu ia mampu berjalan tegak lurus pada rel-rel kebenaran, maka kelalaian akan segera sirna dari hatinya. Berganti dengan dzikir serta keyakinan akan adanya kontrol dan pengawasan Allah. Tibalah saatnya untuk memasuki kerajaan Allah Yang Maha Agung.
Hal ini sangat cocok dengan perkataan Rasulallah shalallahu ‘alaihi wasalam, ketika beliau menjelaskan perihal ihsan,
أن تعبد الله كأنك تراه، فإن لم تكن تراه فإنه يراك
Artinya : "Yaitu engkau menyembah Allah swt seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia selalu melihatmu".
Maksudnya engkau menarik perasaanmu secara total sehingga dunia dan segala isinya ini hilang dari hatimu dan tidak berarti apa-apa. Saat memandang dunia, maka engkau hanya merasakan telah berada di hadapan Allah subhanahu wata'ala yang selalu berfirman kepadamu seakan-akan engkau benar-benar melihat-Nya.
Keyakinan seorang hamba akan kehadiran Allah berarti adanya kesadaran akan adanya sifat-sifat, nikmat dan karunia serta rahamt-Nya. Ketika ia menerima nikmat, maka ia pasti menghubungkannya dengan Dzat yang menganugerahkan nikmat tersebut. Segala bentuk pergantian keadaan hidup yang ia jalani hanya semakin menguatkan keyakinannya bahwa yang mengatur semua itu adalah Allah Yang Maha Kuasa. Dalam situasi seperti ini, maka cinta dalam hatinya hanya akan tertuju kepada Allah subhanahu wata'ala. Ia sama sekali sekali tidak menghiraukan makhluk karena ia selalu berdiri di depan keagungan Allah Yang Maha Sempurna.
Namun cinta kepada Allah bukan berarti merubah dirinya menjadi seorang malaikat yang tidak memiliki atau merasakan keinginan. Ia tetap saja merupakan manusia biasa yang mempunyai kemauan-kemauan pribadi. Hanya saja ia akan menuruti jika memang keinginan tersebut sesuai dengan syariat. Namun apabila bertolak belakang dengan undang-undang taklif, maka ia akan segera menyingkirkannya.
Cinta kepada Allah yang telah mengisi hati, seorang hamba akan menghancurkan dan menyingkirkan nafsu syahwat yang dahulu menguasainya. Termasuk juga rasa cintanya kepada makhluk-makhluk di dunia ini. Akhirnya cermin hati hanya akan menghadap ke hadirat Allah sehingga satu-satunya yang tampak adalah Allah ‘Azza wa Jalla.

F. Menyatukan hati
Apakah bisa tergambarkan ketika seorang manusia biasa melihat gambar pemandangan dunia namun gambar tersebut tidak tercatat dalam lembaran-lembaran hatinya?
Gambar-gambar makhluk yang telah dilihat oleh kedua mata akan terekam dalam memori otak. Setelah itu ia akan berusaha memasuki ruang-ruang hati. Namun ketika hati telah bergelora oleh rasa cinta kepada Allah, maka hati tidak akan menerimanya sebagai sekedar gambar biasa. Ia hanya menganggap bahwa semua itu adalah bukti dan tanda yang berbicara tentang keesaan Allah ‘Azza wa Jalla, keagungan serta kekuasaan-Nya, sambil berkata,
و في كل شئ له أية     تدل على أنه الواحد
"Di dalam sesuatu (yang ada di dunia ini) pasti terdapat tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wata'ala adalah Dzat Yang Maha Esa".
Hamba-hamba yang memiliki hati semacam ini akan melukiskan gambar-gambar yang dilihat kedua matanya dalam lembaran hati, namun hanya untuk mendengarkan ucapan tasbih dari gambar itu. Maha Benar Allah yang telah berfirman:
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ [الإسراء/44]
Artinya : "Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." (Q.S. Al-‘isra' 44)
Mereka juga melihat kemegahan dan keindahan dunia seperti keadaan manusia umumnya, namun hati yang mereka miliki akan mengubah gambar-gambar itu menjadi cahaya kerinduan akan keindahan Allah subhanahu wata'ala. Ketika menatap hamparan langit yang penuh dengan kilauan bintang atau terang cahaya rembulan maka hati akan mengalihkan pemandangan itu sebagai pesan suci dari Allah ‘Azza wa Jalla. Yang terlukis memenuhi lembaran hatinya hanyalah cahaya-cahaya ayat Allah. Satu-satunya yang terukir dalam hatinya adalah Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Sempurna.
Lain halnya dengan seseorang yang belum memahami makna tauhid. Gambar-gambar yang ia saksikan dengan dua mata akan menjadi tabir yang melalaikan hatinya dari Allah ‘Azza wa Jalla hingga akhirnya akan menjerumuskan kepada jurang dosa dan maksiat.Seseorang yang memiliki ketergantungan atau rasa cinta kepada orang lain juga akan mengalami apa yang mereka sebut sebagai kehadiran tunggal. Artinya saat ia menatap apa saja, maka hatinya akan bingung untuk menggambarkana esensi yang ia lihat. Karena hanya satu yang teringat dalam lamunannya yaitu orang yang menjadi idaman hatinya.
Jikalau keadaan seseorang yang mencintai orang lain bisa sampai seperti ini, maka semestinya hamba yang mencintai Allah akan mengalami keadaan yang lebih dahsyat lagi. Betapa tidak? Allah subhanahu wata'ala adalah Dzat Yang Maha Sempurna segala-galanya.
Segala yang ada di dunia ini pada hakikatnya hanya akan menyandarkan kepada kehadiran tunggal yang merupakan buah bibir dari akidah tauhid.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164) [البقرة/164]
Artinya : "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (Q.S. Al-baqarah : 164)

G. Kesimpulan
Selain memiliki bentuk fisik yang tampak oleh mata, manusia juga terdiri dari bagian abstrak yang tidak terlihat. Bahkan sisi abstrak inilah yang membedakan antara seorang insan dengan seekor binatang.
Bagian abstrak manusia adalah akal dan hati, namun yang terpenting serta menjadi pengendali hidup seseorang adalah hati. Ibarat sebuah cermin, hati akan manampakkan gambar-gambar yang ada di depannya. Jika ia menghadap kepada matahari, maka cermin itu akan bersinar terang benderang. Sebaliknya ia akan penuh dengan kegelapan ketika berda di depan benda-benda yang gelap.
Keadaan hati juga seperti anggota fisik manusia yang terkadang tertimpa penyakit. Namun virus-virus dan bakteri yang menyerang hati akan sangat sulit terdeteksi. Hati yang terserang pernyakit dan tidak segera ditangani akan menyebabkan seseorang terjerumus dalam kesesatan dan akibat yang paling fatal adalah neraka selama-lamanya.
Sebab utama penyakit hati adalah dosa dan maksiat yang kemudian akan menimbulkan kelalaian kepada Allah subhanahu wata'ala. Jadi langkah pertama kali yang harus dilakukan untuk mengobati hati ialah dengan meninggalkan dan membuang jauh-jauh segala bentuk dosa dan kejahatan. Dengan begitu hati akan teringat kembali kepada sifat dasar penghambaannya kepada Allah dan mengomando semua organ tubuhnya untuk melaksanakan tanggung jawab yang membebani pundaknya dengan tekun dan disiplin.
Setelah ia mampu istiqomah beribadah dan mengingat Allah, maka ia akan menikmati rasa cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang mengantarkan dirinya mencapai derajat ihsan, menyembah Allah seakan benar-benar melihat-Nya. Dalam kondisi seperti ini, maka yang mengisi hatinya hanyalah Allah subhanahu wata'ala dengan semua sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dunia yang terlihat oleh kedua matanya akan merasuk ke dalam hatinya sebagai gelombang-gelombang cahaya yang menjelaskan keagungan, kekuasaan serta kesempurnaan Allah ‘Azza wa Jalla.
- 0 komentar

SAYYIDUNA AL-IMAM QUTHBUD DAKWAH WAL-IRSYAAD AL-HABIB ABDULLAH BIN 'ALAWIY AL-HADDAD

Ringkasan Riwayat Hidup Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad
NASAB, KELAHIRAN DAN PEMBESARAN
Beliau bernama Abdullah bin Alawi bin Muhammad bin Ali Al-Tarimi Al-Haddad Al-Husaini Al-Yamani. Beliau (rahimahullah) dilahirkan di Subir sebuah perkampungan berhampiran kota Tarim di Wadi Hadhramaut, selatan negeri Yaman pada hari Ahad 5 haribulan Safar tahun 1044 hijriah bersamaan 30 haribulan Julai tahun 1634 Masehi. Al-Habib telah diasuh dan ditarbiahkan di Kota Tarim. Ketika beliau meningkat umur empat tahun, Al-Habib dijangkiti penyakit cacar yang mengakibatkan kehilangan daya penglihatan. Walaupun demikian, Allah yang Maha Agong lagi Mulia telah menggantikan kepada Al-Habib dengan mata hati (cahaya ilmu dan pengetahuan serta keyakinan dan wilayah). Berasaskan kurniaan ini, Al-Habib telah berusaha dengan penuh dedikasi dan kegigihan menceduk ilmu dari sejumlah besar para ulama’ di Yaman. Cinta beliau terhadap ilmu dan para ulama’ menghasilkan kebolehan menguasai ajaran para ahli tahkik (orang yang mengenali Allah dengan ‘ainul-yakeen serta hakkul-yakeen). Semenjak kecil lagi beliau memaparkan kekuatan usaha ibadat dan kerajinan memuntut ilmu.
Al-Habib pernah berkata “ketika aku masih kecil, aku telah berusaha bersungguh-sungguh untuk beribadat dan melaksanakan pelbagai mujahadah yang lainnya, sehingga ditegur oleh nindaku yang solehah bernama Salma binti Said Al-Wali Omar Ba’Alawi, supaya menjaga diriku. Dia sering berkata demikian jika dikira ibadat serta mujahadah yang aku usahakan dianggap terlalu kuat dan banyak. Sebaliknya aku telah banyak meninggalkan mujahadah semenjak permulaan perjalanan ini semata-mata memelihara hati kedua ibubapaku yang amat prihatin terhadap keadaanku”.
Walaupun Al-Habib (radhiAllahu ‘anhu) sering keluar ke kawasan sekitarnya dan perkampungan di sekeliling Tarim, beliau berkata “aku lebih senang bersendirian demi kerana Allah kerana alangkah ne’matnya kelazatan (al-uns) bersama dengan Allah”.
Pada permulaan perjalanan hidup Al-Habib, beliau sentiasa menyusuri negerinya untuk bertemu para solihin, menziarahi pusara para ulama’ dan auliya’. Pada masa beliau berada di perkampungannya, beliau sering duduk di sudut ‘Masjid Al-Hijriah’ dan pada waktu malamnya sering bersolat bergiliran di setiap masjid dalam kota Tarim. Sesungguhnya inilah yang membuka hati beliau semenjak kecil lagi. Al-Habib sering membaca Surah Yaasin yang mempengaruhi jiwanya dan menyebabkan beliau menitiskan air mata yang begitu banyak. Keadaan demikian sering mengakibatkan ketidakmampuannya membaca surah yang mulia ini. Inilah yang mendorong Sayyed Abdullah Bilfagih menjelaskan tentang Al-Habib dengan katanya “Disinilah futuh (pembukaan) bagi Al-Habib”.
AKHLAK DAN BUDI PEKERTI
Al-Imam Al-Haddad (rahimahullah) memiliki perwatakan badan yang tinggi, berdada bidang, tidak terlalu gempal, berkulit putih, sangat berhaibah dan tidak pula di wajahnya kesan mahupun parut cacar.
Wajahnya sentiasa manis dan menggembirakan orang lain di dalam majlisnya. Ketawanya sekadar senyuman manis; apabila beliau gembira dan girang, wajahnya bercahaya bagaikan bulan. Majlis kendalian beliau sentiasa tenang dan penuh kehormatan sehinggakan tidak terdapat hadhirin berbicara mahupun bergerak keterlaluan bagaikan terletak seekor burung di atas kepala mereka.
Mereka yang menghadhiri ke majlis Al-Habib bagaikan terlupa kehidupan dunia bahkan terkadang Si-lapar lupa hal kelaparannya; Si-sakit hilang sakitnya; Si-demam sembuh dari demamnya. Ini dibuktikan apabila tiada seorang pun yang yang sanggup meninggalkan majlisnya.
Al-Imam sentiasa berbicara dengan orang lain menurut kadar akal mereka dan sentiasa memberi hak yang sesuai dengan taraf kedudukan masing-masing. Sehinggakan apabila dikunjungi pembesar, beliau memberi haknya sebagai pembesar; kiranya didatangi orang lemah, dilayani dengan penuh mulia dan dijaga hatinya. Apatah lagi kepada Si-miskin.
Beliau amat mencintai para penuntut ilmu dan mereka yang gemar kepada alam akhirat. Al-Habib tidak pernah jemu terhadap ahli-ahli majlisnya bahkan sentiasa diutamakan mereka dengan kaseh sayang serta penuh rahmah; tanpa melalaikan beliau dari mengingati Allah walau sedetik. Beliau pernah menegaskan “Tiada seorang pun yang berada dimajlisku mengganguku dari mengingati Allah”.
Majlis Al-Imam sentiasa dipenuhi dengan pembacaan kitab-kitab yang bermanfaat, perbincangan dalam soal keagamaan sehingga para hadhirin sama ada yang alim ataupun jahil tidak akan berbicara perkara yang mengakibatkan dosa seperti mengumpat ataupun mencaci. Bahkan tidak terdapat juga perbicaraan kosong yang tidak menghasilkan faedah. Apa yang ditutur hanyalah zikir, diskusi keagamaan, nasihat untuk muslimin, serta rayuan kepada mereka dan selainnya supaya beramal soleh. Inilah yang ditegaskan oleh beliau “Tiada seorang pun yang patut menyoal hal keduniaan atau menyebut tentangnya kerana yang demikian adalah tidak wajar; sewajibnya masa diperuntuk sepenuhnya untuk akhirat sahaja. Silalah bincang perihal keduniaan dengan selain dariku.”
Al-Habib (rahimahullah) adalah contoh bagi insan dalam soal perbicaraan mahupun amalan; mencerminkan akhlak junjungan mulia dan tabiat Al-Muhammadiah yang mengalir dalam hidup beliau. Beliau memiliki semangat yang tinggi dan azam yang kuat dalam hal keagamaan. Al-Imam juga sentiasa menangani sebarang urusan dengan penuh keadilan dengan menghindari pujian atau keutamaan dari oramg lain; bahkan beliau sentiasa mempercepatkan segala tugasnya tanpa membuang masa. Beliau bersifat mulia dan pemurah lebih-lebih lagi di bulan Ramadhan. Ciri inilah menyebabkan ramai orang dari pelusuk kampung sering berbuka puasa bersama beliau di rumahnya dengan hidangan yang tidak pernah putus semata mata mencari barakah Al-Imam. Tidak terputus pengunjung bertamu dengan beliau pada bulan mulia ini di rumah perkampungan beliau di Al-Hawi.
Al-Imam menyatakan “Sesuap makanan yang dihadiahkan atau disedekahkan mampu menolak kesengsaraan”. Katanya lagi “Kiranya ditangan kita ada kemampuan, nescaya segala keperluan fakir miskin dipenuhi, sesungguhnya permulaan agama ini tidak akan terdiri melainkan dengan kelemahan Muslimin”.
Beliau adalah seorang yang memiliki hati yang amat suci, sentiasa sabar terhadap sikap buruk dari yang selainnya serta tidak pernah merasa marah. Kalaupun ia memarahi, bukan kerana peribadi seseorang tetapi sebab amalan mungkarnya yang telah membuat Al-Imam benar-benar marah. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Habib “Adapun segala kesalahan berkait dengan hak aku, aku telah maafkan; tetapi hak Allah sesungguhnya tidak akan dimaafkan”.
Al-Imam amatlah menegah dari mendoa’ agar keburukan dilanda orang yang menzalimi mereka. Sehingga bersama beliau terdapat seorang pembantu yang terkadangkala melakukan kesilapan yang boleh menyebabkan kemarahan Al-Imam. Namun beliau menahan marahnya; bahkan kepada si-Pembantu itu diberi hadiah oleh Al-Habib untuk meredakan rasa marah beliau sehinggakan pembantunya berkata: “alangkah baiknya jika Al-Imam sentiasa memarahiku”.
Segala pengurusan hidupnya berlandaskan sunnah; kehidupannya penuh dengan keilmuan ditambah pula dengan sifat wara’. Apabila beliau memberi upah dan sewa sentiasa dengan jumlah yang lebih dari asal tanpa diminta. Kesenangannya adalah membina dan mengimarahkan masjid. Di Nuwaidarah dibinanya masjid bernama Al-Awwabin begitu juga, Masjid Ba-Alawi di Seiyoun, Masjid Al-Abrar di As-Sabir, Masjid Al-Fatah di Al-Hawi, Masjid Al-Abdal di Shibam, Masjid Al-Asrar di Madudah dan banyak lagi.
Diantara sifat Al-Imam termasuk tawaadu’ (merendah diri). Ini terselah pada kata-katanya, syair-syairnya dan tulisannya. Al-Imam pernah mengutusi Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Aidarus. “Doailah untuk saudaramu ini yang lemah semoga diampun Allah…”
IBADAH DAN MUJAHADAH
Tiada siapa yang pernah menyatakan Al-Imam bersolat walau satu waktu bersendirian, atau tidak solat di awal waktu, sembahyang dalam situasi yang tergapah-gapah, atau meninggalkan qiamullail. Diantara sifat mulianya Al-Imam ialah tidak berbicara ketika menunggu waktu solat dan amat marah jika ada yang cuba berkata-kata di waktu itu. Bahkan beliau menegahnya serta memberi amaran kepada sahabatnya dari menegurnya ketika waktu tersebut. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Imam dengan katanya: “Kami keluar dengan penuh menghadhirkan diri dan meninggalkan segala kerunsingan”.
Dan tegasnya lagi: “Kami tidak bercadang untuk melaksanakan sebarang solat sunat An-Nawaafil (solat sebelum dan selepas sembahyang fardhu) kecuali setelah hati kami benar-benar hadhir dan iqbal (menuju) kepada Allah”.
Al-Imam amat memeliharai amalan solat Ar-Rawaatib. Doa-doa serta wirid-wiridnya yang ma’thur dari amalan Raul S.A.W. termasuk mendirikan solat Ad-Dhuha sebanyak lapan rakaat dan solat Al-Isyraq sebanyak empat rakaat sebelumnya, solat Al-Awwaabin sebanyak dua puluh rakaat selepas sunat maghrib; dimana Al-Imam menyempurnakan empat rakaat sebelum setiap salam. Di waktu subuh pada hari Jumaat, Al-Imam berjemaah solat Fajar di masjid Al-Jame’ seterusnya beri’tiqaf sehingga solat Jumaat demi mendapat keutamaan berawal-awalan untuk solat tersebut.
Al-Imam juga amat sedikit tidur, sekadar merehatkan diri sahaja. Kebiasaan Al-Imam melambatkan solat witir sehingga hampir fajar; ini disebabkan Al-Imam tidur sedikit (qailulah) selepas solat-solat qiamullail. Kemudian barulah berwudu’ untuk solat witir sebelum subuh. Beliau sentiasa berzikir seumpama ‘La ila ha illallah’ yang terlalu banyak jumlahnya sehinggalah tidak pernah berhenti; Al-Imam membiasakan dirinya dengan ini walaupun diundang perbualan dengan sesiapa.
Al-Imam juga memperbanyakkan puasa, terutamanya pada hari yang diutamakan iaitu Isnin dan Khamis, Ayyaamul Baidh (hari ke 13, 14 dan 15 tiap-tiap bulan), hari ‘Asyura; hari ‘Arafah, enam hari dalam bulan Syawwal; sehinggalah terhentinya amalan ini apabila Al-Imam sudah berumur dan lemah.
Adapun pada bulan Ramadhan, Al-Imam telah menjelaskan kepada para sahabatnya “Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan amal, perkurangkanlah/tinggalkan sementara ilmu semata-mata untuk beribadah dalam bulan ini”. Seterusnya dapat dilihat orang-orang yang ramai mengurangan kelas-kelas ilmu kecuali selepas Asar, sebagai peringatan beliau kepada sahabat-sahabat yang utamakan amal bersungguh-sungguh dan membersihkan dalaman (batin).
Walaubagaimanapun Al-Imam tidak pernah menunjuk-nunjukkan amalnya kecuali keadaan memaksakan seperti supaya ianya dijadikan tauladan kepada yang lain. Kata Al-Imam: “tidak aku tonjolkan amalan ini dengan sengaja, walaupun itu Alhamdulillah aku tidak bimbang dari sifat riya’ (disebabkan orang mengetahui amalan aku). Ingatlah sebagaimana Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq menyatakan tentang perkara ini berlandaskan firman Allah (yang bermaksud) “Sama sekali aku tidak memuji diri ini dengan kebaikan, maka ketahuilah sesungguhnya inilah yang mendorongkannya kepada perbuatan buruk”.
Al-Imam juga telah menegaskan: “sesungguhnya aku telah melaksanakan kesemua sunnah Nabi dan tidak ada sunnah yang ditinggalkan, kecuali rambut”. Akhirnya Al-Imam mengekalkan rambut hingga ke telinganya sebagai yang dilaksanakan oleh Rasul S.A.W.
Al-Imam juga sering menziarahi Nabi Allah Hud, selawat dan salam keatasnya dan Nabi kita; dimana makam Nabi Hud terletak di Wadi Hadramaut. Sebanyak tiga puluh kali Al-Imam telah menziarahinya, kesemuanya pada bulan Sya’ban. Al-Imam telah pergi berjalan kaki bersama-sama sanak saudaranya, kaya dan miskin. Kebiasaannya Al-Imam berada dimaqam itu selalunya di waktu maghrib dari 12 haribulan hingga 15 haribulan Sya’ban. Dalam perjalanan ke sana, Al-Imam sering singgah di Ainat untuk menziarah As Syeikh Al-Kabir Abu Bakar bin Salim dan As-Syeikh Ahmad bin Al-Faqih Al-Muqaddam. Al-Imam juga menziarah maqam Basyar selepas solat Asar setiap hari Jumaat dan hari Selasa. Al-Imam menjelaskan: “pada mulanya, kebiasaan kami menziarahi Basyar ialah pada setiap hari Jumaat, tetapi setelah diantara sahabat kami bertemu Al-Faqih Al-Muqaddam dalam mimpinya dimana dia berkata: katakan kepada Al-Sayyed Abdullah Al-Haddad: “Ziarah Basyar pada hari Jumaat sahaja tidak memadai”; maka berdasarkan itu kami menziarahi juga Basyar pada hari Selasa juga”. Sebenarnya sebelum Allah menzahirkan kemuliaannya dan orang ramai berpusu-pusu kepadanya, memanglah Al-Habib menziarahi Basyar setiap hari Selasa.
Semoga Allah merahmati Al-Imam dan menempatkan beliau di Syurga, dan dihimpunkan kita bersamanya dengan berkat Saiyidina Muhammad S.A.W., keluarganya dan sahabatnya serta selawat keatas Nabi Muhammad yang mulia serta keluarga dan sahabatnya.
- 0 komentar

PERAN BESAR KAUM 'ALAAWIYYIN DALAM MENGISLAMKAN INDONESIA

Beberapa sejarah baik yang ditulis oleh penulis Barat maupun penulis Timur mengatakan bahwa para pedagang Arab lah ,khususnya kaum Alawiyyin, yang menyebarkan agama Islam di kepulauan Hindia Timur (Indonesia). Sebagian dari mereka menambahkan penjelasan dengan menyebut, bahwa beberapa orang yang menyebarkan agama Islam itu tidak termasuk golongan pedagang, tetapi orang-orang yang khusus mendakwahkan agama Islam dan menyebarkannya dikalangan penduduk setempat. Diantara para pakar sejarah tersebut ialah:

- L.Van Rijck Vorsel dalam bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Melayu ‘Riwayat Kepulauan Hindia Timur’ menyebut, bahwa orang-orang Arab sudah datang dipulau Sumatra 750 tahun lebih dulu sebelum orang-orang Belanda. Akan tetapi kedatangan orang-orang Arab untuk menyebarkan agama Islam dikepulauan itu baru terjadi dalam tahun 1292 M dan penyebaran agama tersebut dilakukan dikalangan kerajaan-kerajaan Pasai.

- Pakar sejarah asing seperti Rowland Son, Sturrock dan Frracis Dai, mengatakan bahwa semenjak abad ke 7 M, bahkan sebelumnya, orang-orang Arab telah bermukim di Hindia Barat, kemudian mereka berpencar keberbagai tempat. Namun mereka lebih mengutamakan tempat tinggal di Malabar. 

- Didalam ‘Encyclopedie Van Nederlandsche Indie’ vol.II P.P. 567 9 Doctor Snouck Hurgronje menyebut, bahwa pengaruh orang-orang Arab dalam penyebaran agama Islam lebih besar daripada (bangsa) yang lain. Pakar sejarah, Prof.Husain Jayadiningrat didalam majalah ‘Bahasa dan Budaya’ menunjuk kepada Encyclopedie tersebut dalam pembicaraannya mengenai Syarif Hidayatullah. 

- R.O.Winstedt, misalnya, ia mengatakan bahwa mereka (para penyebar agama Islam ke Timur) itu datang dari Gujarat. Akan tetapi bersamaan dengan itu ia menunjuk kepada orang-orang Arab yang menuju Kedah, di Semenanjung Melayu, dengan maksud berniaga. Bahkan ia mengatakan juga bahwa agama Islam tersebar dikawasan tersebut pada tahun 915 M. 

- Von Ronkel dan G.E.Marrison, dua-duanya berpendapat bahwa mereka (para penyebar agama Islam ke Timur) datang dari India Selatan, tetapi dua-duanya tidak pula dapat menentukan nama tempat dari mana mereka itu datang. Bahkan Marrison mengatakan, peranan orang-orang yang datang dari Gujarat baru terjadi setelah agama Islam tersebar di Samudera, yakni Aceh. Kaum orientalis yang mengatakan demikian itu tidak memperhatikan kenyataan bahwa kaum muslimin gujarat bermadzhab Hanafi, sedang kan kaum muslimin dinegeri-negeri Timur tidak demikian (bermadzhab Syafi’i).

- Jones didalam bukunya ‘Sufisme Merupakan Bagian Sejarah di Indonesia’ berpendapat, bahwa orang-orang Arab dan lainnya memulai kunjungan mereka secara teratur ke Indonesia sejak abad ke 8 M.

- Diago De Couto, pakar sejarah berkebangsaan Portugal dapat memastikan, bahwa Aceh pada zaman dahulu sudah mempunyai hubungan langsung dengan negeri-negeri Arab. 

- Wilbers bahkan mengatakan bahwa para penyebar agama Islam datang dari negeri Arab. Sama dengan Wilbers, Robertson juga mengatakan bahwa para penyebar agama Islam datang dari Mekkah dan daerah-daerh pantai Laut Merah.

- Hendrik Kern mengatakan, para pedagang Arablah yang menyebarkan agama Islam. Disana terdapat pedagang-pedagang muslimin Arab, dan merekalah yang menyebarkan agama Islam. Pedagang-pedagang Muslimin yang sebagian besar terdiri dari orang Arab menempati pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan pulau-pulau yang berdekatan. Mereka itulah yang menabur benih-benih agama Islam. Demikian juga yang dikatakan oleh Thomas Arnold dan sejarawan sebelumnya, Fransisco Geiter, bahwa orang-orang Arab bermukim didaerah selatan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat. 

- Van den Berg ,seorang penulis berkebangsaan Belanda, ia menyebut, bahwa pengaruh Islam dikalangan pribumi bersumber dari orang-orang Arab yang bergelar Sayyid dan Syarif (yakni kaum Alawiyyin). Berkat upaya dan kegiatan mereka itulah agama Islam tersebar dikalangan raja-raja Hindu di Jawa dan dipulau-pulau lainnya. Meskipun ada orang-orang lainnya yang berasal dari Hadramaut, mereka tidak mempunyai pengaruh Islami. Kenyataan besarnya pengaruh kaum Sayid dan kaum Syarif kembali  kepada martabat mereka sebagai keturunan seorang Nabi dan Rasul pembawa agama Islam, yakni Muhammad saw. 

- Buku ‘Sejarah Serawak’ di Perpustakaan ‘Rafles’ di Singapura menyebutkan, bahwa Sultan Barakat adalah keturunan Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Diterangkan bahwa ia datang dari Tha’if dengan sebuah kapal perang yang sangat terkenal pada masa itu. Dijelaskan lebih jauh, orang itu bernama Barekat bin Thahir bin Ismail (terkenal dengan nama julukan ‘Al-Bashri’, bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Muhamad An-Naqib…dan seterusnya sampai kepada Al-Husain bin Ali bin Abdul Mutholib kw –red.). Kaum Syarif di Mekkah pada umumnya adalah keturunan Al-Hasan ra (bin Ali bin Abi Thalib), sedangkan Barekat adalah keturunan Al-Husain ra. Kaum Syarif di Mekkah tidak melakukan penyebaran agama ke seberang lautan. Yang melakukan kegiatan demikian adalah kaum Sayid keturunan Al-Husain ra yang bermukim di Hadramaut/Yaman Selatan. Kegiatan itu mereka lakukan terutama setelah terjadinya penyerbuan kaum Khawarij sekte Abadhiyyah terhadap Hadramaut. Kota tempat mereka bermukim adalah Bait Jabir, termasuk pusat perniaga an dinegeri itu. Mereka mengumpulkan bekal dari Marbath, kemudian diangkut dengan kafilah ke Yaman.
Dalam sejarah kaum muslimin Philipina dan dalam sejarah Sulu disebutkan, bahwa mereka berasal dari keturunan Abdullah bin Alwi bin Muhamad (penguasa Marbath) bin Ali Khali’ Qasam..dan seterusnya sampai Imam Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra binti Muhamad saw. 

- Nageeb M.Saleeby didalam bukunya yang berjudul ‘Department of The Interior Ethnological Survey Publication Studies in More History Law Relegion’ (Manila Bireau of Republic Printing 1905) dalam menyebut sejarah Mindanau mengatakan antara lain:
“Sebelum kedatangan Islam tidak terdapat data sejarah yang akurat, dan tidak terdapat pula kisah atau ceritera-ceritera yang di-ingat orang. Setelah kedatangan Islam barulah tampak penyebaran ilmu (pengetahuan), peradaban dan berbagai kegiatan. Undang-undang dasar yang baru ditetapkan bagi Negara, ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditetapkan dan silsilah serta cabang-cabang keturunan dari orang-orang besar dibaku kan, kemudian dengan hati-hati dan dijaga baik-baik oleh semua Sultan dan para bangsawan”. Silsilah tersebut dibakukan dalam sebuah catatan sejarah yang tertulis  dengan bahasa Melayu Tinggi, terjemahannya dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut:
“Alhamdulillah, saya yakin sepenuhnya bahwa Allah menjadi saksi atas saya. Buku catatan ini berisi silsilah Rasulallah saw (yaitu mereka) yang tiba di Mandanau. Sebagaimana diketahui, Rasulallah saw mempunyai seorang putri bernama Fathimah Az-Zahra. Putri ini melahirkan dua orang syarif, Al-Hasan dan Al-Husain. Tersebut belakangan (Al-Husain) itulah yang beranak Syarif (Ali) Zainal Abidin...”dan seterusnya.
Keturunan dari Muhamad (Al-Baqir) putera Zainal Abidin (yakni mereka yang datang dari Johor) ialah Ahmad bin Abdullah bin Muhamad bin Ali bin Abdullah bin Alwi (‘Ammul Faqih) bin Muhamad (Shahib Marbath) bin Ali (Khali’ Qasam) bin Alwi bin Muhamad bin Alwi (orang yang pertama disebut ‘Alawi’ dan darinya berasal semua kaum sayid Al-Alawiyyun di Hadramaut) bin Abdullah bin Al-Muhajir bin Isa..dan seterusnya sampai kepada Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin.

- Musyawarah kaum muslimin yang berlangsung di Sidogiri pada tanggal 30-april-1962, dihadiri oleh 165 orang ulama, telah mengambil keputusan dan telah disampaikan kepada pihak-pihak resmi, bahwasanya kaum Alawiyyin berasal dari Hadramaut penganut madzhab Syafi’i adalah orang-orang yang menyebarkan agama Islam di Indonesia. Naskah keputusan tersebut ditanda tangani oleh Ketua Musyawarah, Haji Ahmad Khalil Nawawi dan wakil Sekretaris Abdulgani Ali. Adapun mengenai orang-orang yang menyebarkan agama Islam dinegeri-negeri Timur pada umumnya, dapat dituturkan sebagai berikut: Menurut beberapa buku sejarah Jawa dan menurut sementara kaum orientalis (ahli ketimuran) Barat, dinyatakan bahwa orang-orang Arab lah yang membawa benih-benih agama Islam kenegeri-negeri Timur. Akan tetapi beberapa orang dari kaum orientalis zaman belakangan masih tetap mengikuti pendapat Snouck Hurgronje, yang berpendapat bahwa penyebar agama Islam datang dari India. Meskipun begitu mereka sendiri berbeda pendapat mengenai tempat (di India) darimana (aslinya) para penyebar agama Islam itu datang. 

- Profesor Qaishar Makhul mengatakan, bahwa orang-orang yang datang dari Gujarat dan yang datang dari India Selatan memainkan peranan bersama-sama. Akan tetapi menonjol-nonjolkan peranan mereka dapat meniadakan peranan yang dimainkan oleh kaum Syarif, para ulama dan para pedagang Arab. Selain itu dapat juga meniadakan peranan kaum muslimin Melayu dalam menyebarkan agama Islam.
Ia mengatakan juga, tidaklah bertentangan dengan pemikiran kami sendiri jika kami mengatakan, bahwa sebagian besar penyebar agama Islam di Malaysia (Semenanjung Melayu) yang datang melalui India adalah orang-orang Arab atau orang-orang India peranakan Arab. Lebih lanjut ia mengemukakan, tidaklah mustahil bahwa sebagian penduduk setempat (kaum pribumi) memeluk agama Islam berkat kegiatan individual yang dilakukan oleh kaum Syarif berkebangsaan Arab, dari keturunan Sayiduna Ali (bin Abi Thalib) dan sejumlah kaum pedagng yang bertakwa.

- Prof.Abdul Mun’im Al-Adwiy didalam majalah ‘Al-Arab’ yang terbit di Karaci (Pakistan) mengatakan: Kita mempunyai kenangan indah tentang saudara-saudara kita orang-orang Hadramaut dan Yaman, yang telah memasukkan agama Islam ke Indonesia, Malaysia, Thailand dan negeri-negeri dikawasan Timur Jauh lainnya. Mereka telah meninggalkan berbagai pusaka yang baik dikerajaan Ashifiyyah (Emirat Haidarabad), Malabar (India bagian Selatan) dan di Kitiyawara.  Lebih lanjut ia mengatakan: Orang-orang Arab lah yang pertama masuk ke Citagong, di Teluk Benggala. Kemudian nama tersebut mereka gunakan untuk menyebut nama sungai Qani’. Oleh orang-orang Inggris nama ‘Citagong’ dirubah menjadi ‘Cinagong’ dan dalam bahasa Benggali disebut sungai Syanjim. Penduduk pulau Akyah dekat perbatasan Burma (Myanmar) hingga sekarang penduduknya masih berbicara dengan bahasa Arab diantara sesama mereka. Selain itu mereka juga hingga sekarang masih tetap menjaga baik-baik nasab dan asal-usul serta tradisi mereka. Mereka adalah keturunan orang-orang Arab Hadramaut dan Yaman. Demikian juga, penduduk dipulau-pulau Maladef, hingga sekarang masih tetap mempertahankan ke-arab-an tradisi mereka yang asli. 

- Doktor Hamka mengatakan, bahwa kaum pendatang itu adalah orang-orang Arab atau asal keturunan Arab. Di antara mereka ada yang datang dari Gujarat, dari Persia dan ada pula yang dari tanah Melayu. Pada bagian lain dari bukunya ‘Sejarah Ummat Islam’, Doktor Hamka menegaskan bahwa agama Islam datang langsung (di Indonesia) dari negeri Arab. Orang-orang Indonesia berkeyakinan kuat dan secara turun-temurun percaya, bahwa mereka menerima agama Islam dari orang-orang Arab, ada yang sebagai guru yang mendakwahkan agama dan ada pula orang-orang sayid dan syarif dari keturunan Rasulallah saw. Lebih jauh Hamka mengemukakan, tidak sedikit orang-orang keturunan Sadah (kaum sayid) dan keturunan para sahabat Nabi yang datang dari Malabar. Mereka mempunyai hubungan langsung dengan negeri-negeri Arab. Beliau mengetahui bahwa seorang guru tasawwuf, Abu Mas’ud Abdullah bin Mas’ud Al-Jawi, mengajar sebagai guru dinegeri Arab. Diantara murid-muridnya ialah seorang ulama Sufi (ahli tasawwuf) bernama Abdullah Al-Yafi’i (1300-1376M), penulis buku ‘Riyadhur-Rayyahin fi Hikayatis-Shalihin’. Disebut juga bahwa Syarif Ali Ad-Da’iyah nikah dengan puteri saudara Sultan Muhamad, Sultan Brunai. Setelah wafat, kesultanan diserahkan kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Sebagaimana diketahui Syarif Ali adalah Sultan ke tiga di Brunai. Beliau wafat pada permulaan abad ke 15 dan kesultanannya diserahkan kepada puteranya yang bernama Sulaiman. 

Doktor Hamka mengatakan juga bahwa orang-orang keturunan Arab, khususnya kaum Sayid, beroleh kedudukan dan martabat sangat terhormat. Keturunan mereka memegang tampuk kesultanan Aceh. Sultan yang pertama ialah Sultan Badrul-‘Alam Asy-Syarif Hasyim Jamalullail (1699-1702M), kemudian Sultan Perkasa Alam Asy-Syarif Lamtsawiy Asy-Syarif Ibrahim Abriy. Hingga tahun 1946 M beberapa orang perwira yang memimpin pasukan bersenjata di Aceh terdiri dari keturunan Arab. Sultan-sultan Perlis dari keluarga Jamalullail dan Sultan yang sekarang (yakni pada masa Hamka menulis bukunya) ialah Tuanku Sayid Putera bin Almarhum Hasan Jamalullail. Sebagai pembuktian tentang ke-arab-an para penyebar agama Islam beliau mengemukakan, bahwa diantara mereka itu adalah Syeikh Islam’il dan Sayid Abduaziz yang telah berhasil mengislamkan ‘Prameswara’. Sedangkan Syeikh Abdullah Arif dan Malik Ibrahim sendiri adalah keturunan (Ali) Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib bermukim di Gresik. Demikian juga Syarif Hidayatullah adalah keturunan Muhamad Rasulallah saw. Kedatangan para sayid dari kaum Alawiyyin dari Hadramaut terjadi pada masa hidupnya Sultan Iskandar Muda di Aceh. (semua uraian yang bersumber dari Hamka ini didasarkan buku beliau ‘Sejarah Umat Islam’ jilid 4 hal.21,42,46,47 dan buku beliau ‘Tuanku Rau Antara Fakta dan Khayal’, hal. 332). Dalam buku Hamka  “Seminar Sejarah” (Islam) hal.75, mengatakan: Harus diakui bahwa kaum Sayid dan kaum Syarif (kaum Alawiyyin) sudah sejak semula telah mengambil bagian dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.

- Doctor Hamka didalam bukunya “Sejarah Ummat Islam’ jilid 4 mengatakan, didalam ceritera-ceritera rakyat yang tertulis banyak disebut tokoh-tokoh penting yang berasal dari keturunan Rasulallah saw. Raja-raja dikepulauan Maluku, misalnya, disebut bahwa mereka itu berasal dari keturunan Jakfar As-Shadiq (cicit Rasulallah saw). Disebut juga bahwa seorang Sayyid dari kaum Alawiyyin datang dibeberapa daerah Timur Indonesia untuk menyebarkan agama Islam. Banyak pula dibicarakan orang bahwa seorang Sayid lainnya yang berada dikerajaan Kutai datang dari Demak. Ceritera-ceritera seperti itu meskipun tidak ditunjang oleh data tertulis atau tidak diperkuat dengan hujjah (argumentasi), bagaimanapun juga pasti mempunyai asal kenyataan yang sebenarnya, bukan hanya sekedar ceritera yang menunjukkan betapa besar peranan orang-orang Arab dalam penyebaran agama Islam dinegeri Melayu. Peranan yang tidak dapat kita lupakan. 

- Prof.Abdulmun’im An-Namr dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Islam di India’ mengatakan, bahwa pada zaman dahulu orang-orang Arab pergi ke Teluk Benggala, kenegeri Melayu dan kepulauan Indonesia. Diantara mereka terdapat sejumlah pedagang dan pelaut-pelaut Hadramaut dan lain-lain. Mereka datang kenegeri-negeri tersebut membawa agama mereka yang baru (Islam) dan bermu’amalat dengan kaum pribumi. Sumber-sumber yang terkenal dari penduduk setempat menuturkan bahwa agama Islam sampai ke Philipina dibawa oleh tujuh orang Arab bersaudara, semuanya berasal dari Semenanjung Arabia. Diantara mereka yang paling terkenal bernama Abubakar. Ia datang sekitar tahun 1450M. Kemudian ia oleh penduduk setempat diberi gelar Paduka Maha Sari Maulana Sultan Syarif Al-Hasyimi, yaitu sebagaimana tertulis pada pusaranya. Kesultanannya diwarisi secara turun-temurun. Salah satu diantara tujuh orang bersaudara tersebut diatas ialah Sayid Ali Al-Faqih, penyebar agama islam dipulau Tawai-tawai dan sekitarnya. Di Budi Datu, dipulau Julu (Jolo), terdapat pusara seorang dari mereka tertulis diatasnya ‘tahun 710H. Mungkin ia orang pertama yang datang kepulau Sulu untuk menyebarkan agama Islam dikalangan penduduk tempat.

- Prof.Husain Naimar setelah tinggal di Indonesia selama kurun waktu tertentu, menulis sebuah buku mengenai hubungan India dengan Indonesia dan penyebaran agama Islam dikalangan penduduknya. Ia berpendapat bahwa para penyebar agama Islam adalah kaum Sayid dari Alawiyyin yang datang dari India. Ia pulang ke India untuk menerbitkan bukunya dalam bahasa Inggris.

- Salim Harahap berdasarkan penuturan Dauzi menyebutkan, bahwa agama Islam masuk ke Kalimantan melalui sekelompok orang Arab dari Palembang. Sebagaimana diketahui Palembang adalah tempat hijrah kaum Alawiyyin dan tempat permukiman mereka. Sebagian besar kaum Alawiyyin yang menuju ke Indonesia pada umumnya datang di Palembang. Kemudian ada sebagian yang menetap disana dan ada pula yang berpencar dipulau-pulau lainnya. Karena itu di Palembang kita temukan keluarga-keluarga kaum Alawiyyin lebih banyak daripada yang kita temukan dikawasan-kawasan lain.

- Tabloid kebudayaan ‘Al-‘Ilm’, yang terbit di Rabat (Marokko) pernah menyebut, bahwa agama Islam masuk ke Philipina pada pertengahan kedua abad ke 14 M melalui sekelompok kaum Syarif Alawiyyin yang datang kenegeri itu. Lebih lanjut dikatakan, bahwa merekalah yang telah membawa panji dakwah islam kesana dan turut serta aktif dalam pembangunan negeri, turut mengembangkan lembaga-lembaga sosial, kebudaya an dan politik.

- Snouck Hurgronje mengatakan: Sebagian besar penyebar agama Islam datang dari negeri jauh. Pada galibnya mereka datang dari negeri Arab. Mereka digelari Sayid karena mereka dari keturunan Al-Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad saw. Snouck Hurgronje menuturkan dalam ‘Ancyclopedie van Nederlandsche Indie’ vol.IIXV P.P.576-9, bahwa orang-orang Persia dan India (Malabar dan Krumendal) mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di negeri ini (Hindia Belanda). Kendati demikian tidak ada yang dapat mengingkari betapa besar pengaruh orang-orang Arab yang datang dari Mekkah, khususnya dalam kehidupan keagamaan Islam. Pengaruh mereka jauh lebih besar dari pengaruh Turki, atau India atau Bukhari. Pengaruh mereka itu  demikian Snouck Hurgronje lebih lanjut  sangat terang dalam abad-abad ke 18 dan ke 19 M yaitu pada masa-masa mulai berkobarnya semangat melawan kolonialisme, yakni ketika imprealisme Belanda berusaha memperkokoh kekuasaannya di Indonesia, dan imperialisme Inggris di Malaya. Dalam menghadapi imperialisme tumbuh rasa keagamaan sangat kuat dalam berhubungan dengan orang-orang Arab. 

- Buku ‘Sejarah Alam Melayu’ menuturkan, bahwa di Hadramaut terdapat golongan kaum Sayid dan kaum Syarif. Merekalah yang disebut ‘Kaum Alawiyyin’. Dari golongan itu banyak bermunculan orang-orang besar, datang kepulau Jawa dan tanah Melayu. Mereka beroleh kedudukan tinggi di Perak. Sebagian dari mereka berkedudukan sebagai Sultan di Perlis dan di Siak. Pada masa-masa berikutnya jumlah orang Arab pendatang semakin banyak dan menjadi lebih banyak lagi karena mereka melahirkan banyak keturunan, sehingga jumlah haji di tanah Melayu makin bertambah banyak juga.

- Di Brunai terdapat beberapa pusara kuno, antara lain sebuah pusara yang diatasnya tertulis dengan huruf-huruf Arab sebagai berikut: “Al-Alawi Al-Bulqiyah Ad-Dahriyah Sulthan Umar Ali Saifuddin”. Pada pusara yang lain tertulis: “Hijrah 836 Jumadil-Ula Dahri Ali Sulthan Syarif Ali Sulthan Brunai”. Pada pusara yang lain lagi tertulis: “Muhamad Alwi Raja Junjungan”.

- Prof. Al-Qari bin Haji Shaleh setelah membuktikan betapa lama sudah hubungan orang-orang Arab dengan negeri-negeri Timur (berdasarkan buku-buku sejarah yang ditulis oleh berbagai pihak), menyebutkan bahwa kedatangan orang-orang Arab Alawiyyin dari Hadramaut kenegeri kita (yakni ditanah Melayu) membawa agama Islam, membuat sebagian dari mereka beroleh kedudukan tinggi ditengah masyarakat. Demikianlah yang dikatakan olehnya didalam bukunya ‘Pengkajian Sejarah Islam’ hal. 315.

- Di Pariaman , menurut Doktor Hamka, dan Sumatra Barat terdapat banyak keturunan raja-raja yang mempunyai hubungan darah dengan kerajaan Pagaruyung. Mereka bergelar ‘Sultan’. Sedangkan mereka yang mempunyai hubungan darah dengan ke sultanan di Aceh bergelar ‘Bagindo’. Keturunan para Sayid bergelar ‘Sidi’. Saudara Syaaf, pemimpin redaksi surat kabar ‘Abadi’ adalah seorang dari keturunan mereka, raut mukanya masih tetap seperti orang Arab. Hamka menyebut juga bahwa seorang Sayid yang datang ke kerajaan Riau beroleh kedudukan terhormat. Ia bernama Sayid Zainal Husaini Al-Qudsi (Engku Kuning) [tidak ada silsilahnya, yakni tidak tercatat didalam daftar silsilah yang dihimpun oleh Rabithah Alawiyyah, Jakarta]. Keturunannya masih terdapat di Daik dan Lingga.

Mengenai hubungan antara pulau Jawa dan negeri-negeri Arab, menurut sumber berita sejarah dari negeri Cina, Hsin Tang Shu, sudah terjadi semenjak abad ke 7 M. Hal itu dibenarkan oleh para pengembara Arab sendiri. Tidak diragukan lagi pada masa itu pelabuhan-pelabuhan dikawasan Asia Tenggara menjadi tujuan kaum pedagang Arab. Bahkan disemua kota perniagaan terdapat pedagang-pedagang beragama Islam. Demikianlah menurut penuturan Prof.Gabril Feyrand didalam bukunya (edisi Arab) ‘Ashlun-Nassh Al-‘Arabiy’. Apa yang dikatakan olehnya itu disebut juga oleh Prof.Paul Weathley dalam bukunya ‘The Golden Khersonese’. Dua naskah dari buku Feyrand itu masih tersimpan didalam museum Inggris.

- Seorang penulis wanita bernama Nia Kurnia Solihat dalam makalahnya menyebut adanya pusara Fatimah binti Maimun yang wafat pada tanggal 7 Rajab 475 H (02-12-1083 M). Kenyataan itu menunjukkan adanya masyarakat Islam pada zaman kerajaan Penjalu di Kediri. Karenanya tidak anehlah jika dalam buku-buku ceritera rakyat banyak terdapat kata-kata Arab, seperti buku-buku yang disusun oleh Panuluh. Penulis wanita ini menyebutkan, bahwa surat kabar Indonesia ‘Berita Yuda’ tanggal 13-10-1980 memuat sebuah makalah yang ditulis oleh Suwarno, dibawah judul ‘Raja Jayabaya’. Dikatakan bahwa raja Jayabaya telah memeluk agama Islam. Pernyataan itu didasarkan pada buku-buku ceritera yang menyebut keisalaman Jayabaya ditangan seorang Arab bernama Maulana Ali Syamsu Zain. Penuli ini mengatakan lebih lanjut; Meskipun apa yang ditulis dalam buku-buku ceritera itu belum dapat dipastikan kebenarannya, namun banyak sekali ceritera-ceritera didalamnya yang benar-benar berasal dari sejarah yang menunjukkan bahwa agama Islam sudah masuk ke Jawa pada masa kerajaan Penjalu. Tidaklah sulit bagi kita untuk sampai kepada kesimpulan, bahwa agama Islam sudah masuk ke Jawa pada abad ke 12 dan ke 13 M, yakni pada masa kerajaan Singosari dan kerajaan Majapahit.

Hal itu diperkuat lagi oleh petunjuk-petunjuk sejarah yang alin. Yaitu adanya pusara-pusara di Taralaya, dekat Trawulan. Pada kuburan-kuburan itu terdapat tulisan-tulisan Arab dan ayat-ayat Al-Qur’an. Sejarah pusara-pusara itu telah diteliti dan dipelajari oleh Prof.L.C.Damais. Ternyata terdapat juga petunjuk berupa penanggalan tahun Saka, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masa itu. Selain itu terdapat satu bukti yang tertulis dengan penanggalan Hijriah, yaitu tahun 874 H (1469 M). Yang dimakamkan dikuburan tersebut bernama Zainuddin. Tahun-tahun Saka yang tertulis diatas kuburan-kuburan di Taralay, menurut penanggalan Hijriah adalah tahun 680 H atau tahun 1281 M, yakni pada zaman raja Kartanegara, salah seorang dari raja-raja Singosari. 

- Cho Fan Cho, penulis kebangsaan Cina, mengatakan banyak pedagang asing yang menuju ke Penjalu. Mata uang emas dan perak sudah dipergunakan dipasar-pasar.
- 0 komentar

KEMULIAAN DAN KESUCIAN AHLI BAIT BAGINDA NABI MUHAMMAD SAW

Mari kita perhatikan hadits-hadits Baginda Rasulullah Muhammad saw. mengenai keutamaan dan kedudukan keturunanBeliau saw.. Sabda Rasulallah saw.:

مَنْ سَرَّهُ اَنْ يَحْيَا حَيَاتِي وَيَمُوْتَ مَمَاتِيْ وَيَسْكُنَ جَنَّةَ عَدْنٍ غَرَسَهَا رَبِّي فَلْيُوَلِّ عَلِيًّا مِنْ بَعْدِيوَلْيُوَالِ وَلِيَّهُ وَاليَقْتَدِ بِأَهْلِ بَيْتِي مِنْ بَعْدِي فَإِنَّهُمْ عِتْرَتِي خُلِقُوْا مِنْ طِيْنَتِي وَرُزِقُوْا فَهْمِي وَعِلْمِي فَوَيْلٌ لِلْمُكَذِّبِيْنَ بِفَضْلِهِمْ مِنْ أُمَّتيِّ القَاطِعِيْنَ مِنْهُمْ صِلَتِي لاَ أَنزَلَهُمُ اللهُ شَفَاعَتِي.

Artinya: “Barangsiapa senang hidup seperti hidupku dan mati seperti matiku, lalu ia ingin menjadi penghuni surga ‘Adn yang ditanam oleh Tuhanku, hendaknya ia mengangkat ‘Ali sebagai pemimpin sepeninggalku, dan orang itu pun hendaknya mengikuti pimpinan yang diangkat olehnya (‘Ali kw ) sebagai pemimpin, dan supaya berteladan kepada ahlubaitku sepeninggalku. Sebab mereka itu adalah keturunanku dan diciptakan dari darah daging- ku serta dikarunia pengertian dan ilmuku. Celakalah orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka, dan memutuskan hubungan denganku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Allah tidak akan menurunkan syafa’atku kepada orang-orang seperti itu“ (hadits ini dikeluarkan oleh Thabrani dalam kitabnya ‘Al-Kabir’ dan di keluarkan juga oleh Ar-Rafi’i dalam ‘Musnad-nya’ berdasarkan isnad Ibnu ‘Abbas. Kanzul ‘Ummal jilid 6 hal. 217 hadits no. 3819).

Juga sabda Rasulallah saw : 
مَنْ اَحَبَّ اَنْ يَحْيَا حَيَاتِي وَيَمُوْتَ مَيْتَتِيْ وَيَدْخُلَ الجَنَّةَ الَّتِي وَعَدَنِي رَبِّي وَهِيَ جَنَّةُ الخُلْدِ فَالْيَتَوَلَّ عَلِيًّا وَذُرِّيَتَهُ مِنْ بَعْدِهِ فَإِنَّهُمْ لَنْ يُخْرِجُوكُمْ بَابَ هُدًي وَ لَنْ يُدْخِلُوكُمْ بَابَ ضَلاَلَةٍ.

Artinya:" Siapa yang ingin hidup seperti hidupku wafat seperti wafatku serta masuk ke surga yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul Khuld, maka hendaklah ia berwilayah (berpemimpin) kepada ‘Ali dan keturunan sesudahnya, karena sesungguhnya mereka tidak akan mengeluar kan kamu dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan kamu kepintu kesesatan ". Hadits semacam ini terdapat didalam: Shahih Bukhari, jilid 5, hal. 65, cet. Darul Fikr; jilid 5 halaman 159, cet.Mathabi’ Asy-Sya’b.; Shahih Muslim, jilid 2, halaman 51, cet. Al-Halabi, jilid 5, halaman 119,  cet.Syirkah Al-I’lanat. ; Mizanul I’tidal, oleh Adz-Dzahabi, jilid 4, halaman 415 cet. Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah.; Al-Manaqib, oleh Al-Khawarizmi, halaman 34. ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 149 dan 150, cet. Al-Haidariyah, halaman 126 cet. Istanbul. ; Al-Ishabah, oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Asy-Syafi’i, jilid 1, halaman 541, cet. Mushthafa Muhammad; jilid 1, halaman 559, cet. As-Sa’adah.

Hadits Safinah (perahu): 
Disamping hadits-hadits yang telah dikemukakan tadi, marilah kita ikuti lagi Hadits Safinah (Perahu) berikut ini: Rasulallah saw. bersabda: 

اَلاَ إِنَّ مَثَلَ أَهْلَ بَيْتِي فِيْكُمْ كَمَثَلِ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجًا, وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَاغَرَقَ

Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang tertinggal akan tenggelam”. Hadits ini bisa kita baca didalam: 
Al-Mustaddrak Al-Hakim jilid 3, hal.151. ; Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi hal. 235. ;  Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar hal. 184 dan 234, cet. Al-Muhammadiyah, Mesir, hal. 111 dan 140 cet.Al-Maimaniyah, Mesir. ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal. 30 dan 370 cet.Al-Haidariyah, hal. 27 dan 308 cet.Istanbul. ; Tarikh al-Khulafa’ oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i. ;  Is’afur Raghibin oleh Ash-Shabban Asy Syafi’i hal.109 cet.As-Sa’idiyah, hal.103 cet.Al-‘Utsmaniyah. ; Faraid As-Samthin jilid 2 hal. 246 hadits ke 519.

Juga sabda beliau saw.:  
                      إِنَّمَا مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي فِيْكُمْ كَمَثَلِ سَفِيْنَةِ نُوْحٍ مَنْ رَكِبَهَا نَجًا, وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرَقَ وَ إِنَّمَا مَثَلُ أَهْلِ بَيْتِي فِيْكُمْ مَثَلُ بَابِ حِطَّةٍ فِيْ بَنِى إِسْرَائِيْلَ منْ دَخَلَهُ غُفِرَ لَهُ.

Artinya: “Sungguh perumpamaan Ahlu Baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang tertinggal akan tenggelam. Dan perumpamaan Ahlu-Baitku bagi kalian seperti pintu Hith- thah Bani Israil, siapa yang memasukinya ia akan diampuni”.

Hadits ini bisa kita baca didalam: Al-Mu’jam Ash-Shaqir oleh Ath Thabrani jilid 2, hal.22. ; Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.378, cet.Al-Haidariyah,  hal..234, cet.Al-Ghira.; Majma’uz Zawaid,oleh Al-Haitsami Asy-Syafi’i jilid 9, hal.168. ; Ihyaul Mayyit oleh As-Suyuthi (catatan pinggir) Al-Ittihaf oleh Syibrawi hal.113. ;  Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar, hal. 91 cet.Al-Maimaniyah, hal.150 cet. Al-Muhammadiyah Mesir. ; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.28 dan 298, cet. Istanbul, hal.30 dan 358, cet.Al-Haidariyah dan masih banyak lainnya lagi

Makna perumpamaan ahlul Bait sebagai pintu pengampunan ialah bahwa Allah swt. telah menjadikan pintu itu sebagai perwujudan sikap merendahkan diri terhadap keagungan-Nya. Sikap seperti ini akan menyebabkan datangnya maghfirah atau ampunan-Nya. Demikian pula bila ummat ini dengan segala keikhlasan mau mengikuti petunjuk penerus Nabi saw. yaitu para Imam dan Ulama dari kalangan keturunan Rasulallah saw. akan merupakan perwujudan sikap patuh serta tunduk pada kehendak Allah swt. Sikap seperti ini lah yang akan mendatangkan maghfirah/ampunan Allah swt. bagi mereka! Demikian juga Ibnu Hajar dalam kitab As-Sawaiq bab 11 halaman 91 telah mencoba membuat persamaan dalam hal ini. Setelah beliau menukil hadits-hadits yang serupa dan semakna diatas dan lain-lainnya.

Juga sabdanya lagi:  
اَلنُّجُوْمُ أَمَانٌ ِلأَهْلِ الأَرْضِ مِنَ الْغَرَقِ وَ أَهْلُ بَيْتِي أَمَانٌ ِلأُمَّتِي مِنَ الإِخْتِلاَفِ (فِي الدِّيْنِ) فَإِذَا خَالَفَتْهَا قَبِيْلَةٌ مِنَ الْعَرَبِ (يَعْنِىْ فِي أَحْكَامِ اللهِ تَعَالَى) إِخْتَلَفُوْا فَصَارُوْا حِزْبَ إِبْلِيْس

Artinya: “Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan (masalah agama). Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku (masalah hukum-hukum Allah swt) mereka akan berselisih kemudian akan menjadi kelompok iblis“. (Hadits ini dikemukakan oleh Al-Hakim dan dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim, juga hadits ini bisa kita rujuk didalam Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar hal. 91 dan 140 cet. Al-Maimaniyah, hal. 150 dan 234 cet.Al-Muhammadiyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal (catatan pinggir)  Musnad Ahmad jilid 5 hal.93 ; Jawahirul Bihar oleh An-Nabhani jilid 1, hal. 361 cet.Al-Halabi Mesir dan lain-lainnya).

Demikianlah antara lain kalimat hadits Tsaqalain, hadits Safinah dan lainnya serta hadits mengenai Sayyidina Ali kw.serta keturunannya yang dimuat juga dalam Muntakhab al-Kanz (baca catatan pinggir Musnad Imam Ahmad jilid 5 halaman 32) yang semuanya jarang sekali, hampir tidak pernah, di kumandangkan oleh ulama kita Ahlusunnah wal Jama’ah dimasjid-masjid, padahal ini termasuk wasiat Rasulallah saw. yang penting untuk kaum muslimin.

Lafadh hadits tqalain, hadits Al-Kisa’, hadits Safinah dan lafadz hadits lainnya mengenai kemuliaan, kedudukan keturunan Rasulallah saw. banyak di riwayatkan oleh para sahabat dan perawi dari ulama pakar dengan bermacam-macam ragam tapi makna atau intinya sama yaitu kita diperingatkan oleh beliau saw.harus berpegang teguh pada dua bekal berat Kitabullah dan Ahlul Bait (keturunan) Rasulallah dan celakalah orang yang mengingkari dan mendustakan keutamaan keturunan beliau saw.. 

Hadits-hadits Rasulallah saw diatas semuanya dikutip oleh para ulama Ahlus Sunnah terkemuka dan dikeluarkan juga oleh para ulama Islam dari berbagai madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali,  dan lain sebagainya.